Jumat, 11 September 2009

SYUKUR,SABAR,TAWAKAL

SYUKUR, SABAR & TAWAKAL




D
I
S
U
S
U
N
Oleh





Fidia Darma 0805170243
Andriansyah harahap0805170253
Ahmad Muharya
Novita
Intan Puspita 0805170225
Nurul Hidayah 0805170280
Sari Mas Bulan 0805170230
Ringga Meilisa 0805170299








3/f Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan








Pendahuluan

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kita nikmat kesehatan dan nikmat islam.Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW yamg telah membawa kita dari duni kegelapan ke dunia yang terang benderang.
Kami selaku penulis makalah ini mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hasrat p samosir S.Ag,yang telah memberikakami kesempatan,sekaligus membimbing kami untuk menyusun sebuah makalah yang berjudul “SYUKUR,SABAR & TAWAKAL”,untuk memenuhi nilei tugas.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh Teman-teman yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.Tetapi kami meminta maaf jika nantinya didalam makalah ini terdapat hal-hal yang tidak baik,Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari Teman-teman yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih baik nantinya.
Hanya inilah yang dapat kami sampaikan,kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.Wassalamu alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.







Medan 11 September 2009



penulis

DAFTAR ISI
Pendahuluan……………………………………………………………………..1
Daftar isi…………………………………………………………………………2
Syukur…………………………………………………………………………....3
Pengertian syukur……………………………………………………………......3
Mengapa kita harus bersyukur dan apa yang harus kita syukuri………………...3
Balasan untuk orang yang bersyukur……………………………………………5
Bagaimana cara kita bersyukur………………………………………………….6
Sabar……………………………………………………………………………..7
Pengertian sabar………………………………………………………...………..7
Macam-macam sabar…………………………………………………………….8
Tawakal …………………………………………………………………………15
Pengertian tawakal………………………………………………………………15
Hakikat dan pentingnya tawakal………………………………………………...15
Pengaruh tawakal terhadap keimanan…………………………………………...16
Balasan bagi orang yang bertawakal…………………………………………….17
Tawakal tidak menafikkan ikhtiar…………………………………………....….17
Kesimpulan……………………………………………………………………....19












I. SYUKUR
A. PENGERTIAN SYUKUR.
Pengertian syukur secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, berasal dari kata شكر-يشكر-شكرا‘’ yang berarti berterima kasih kepada atau dari kata lain ‘’ شكر‘’ yang berati pujian atau ucapan terima kasih atau peryataan terima kasih
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia syukur memiliki dua arti yang pertama, syukur berarti rasa berterima kasih kepada Allah dan yang kedua, syukur berarti untunglah atau merasa lega atau senang dll
B. MENGAPA KITA HARUS BERSYUKUR DAN APA YANG HARUS KITA SYUKURI
Dalam pendahuluan sudah sedikit dibahas mengenai alasan Mengapa kita harus bersyukur? dan Apa yang kita harus syukuri sebenarnya? Serta maksud Allah sebenarnya mengenai syukur, mengapa kita disiksa nanti jika kita bersyukur dan beriman? Ada beberapa ayat-ayat Al-qur’an yang menerangi tetang hal ini diantaranya sbb :
‘’ Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah Maha Mesyukuri lagi Maha Mengetahui.’’ (An-Nissa : 147)
ayat ini termasuk dalam surat Madaniyah. Tafsiran ayat ini ialah (Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur) atas Nikmat-Nya – (dan beriman) kepada-Nya??? Pertanyaan ini berarti tidak, jadi maksud Allah tidaklah menyiksamu.—(Dan Allah Maha Mesyukuri) perbuatan-perbuatan orang-orang beriman dengan memberi mereka pahala — (Lagi Maha Mengetahui) akan Makhluk-Nya. Berdasarkan tafsir ini bahwa Allah tidak akan menyiksa hambanya yang bersyukur dan beriman yaitu dengan perbuatan-perbuatan orang-orang beriman dengan pahala sebagai balasannya. jadi mengapa allah menyiksamu karena kita tidak bersyukur dan tidak beriman kepada-Nya
. ‘’ Yang membuat sebaik-baiknya segala sesesuatu yang Dia ciptakan dan Dia telah memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripatih air yang diremehkan. Kemudian Dia Menyempurnakan dan Meniupkan kedalam (tubuh)Nya roh (ciptaan)Nya dan Menjadikan Kamu Pendengaran, Penglihatan, dan hati, (tetapi) Kamu sedikit sekali bersyukur.’’ (As-Sajadah : 9).
Ayat dalam surat ini adalah ayat Makiyah. Al-Biqa’I berpendapat bahwa tujuan utama surat ini adalah peringatan kepada orang-orang kafir menyangkut kitab Al-Qur’an ini menyampaikan berita gembira kepada yang berbakti bahwa mereka akan masuk surga dan terhindar dari neraka. Jadi ayat dalam surat As-Sajadah menjelaskan ayat-ayat yang mengajak dalam kepada ketundukan dan melarang keangkuhan. Bila ditafsirkan ayat ini ialah Allah swt yang mengatur segala urusan Maha Pencipta itu serta Yang Maha Perkasa Lagi Maha Penyayang, Dialah Yang membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan sehingga berpotensi berfungsi sebaik mungkin sesuai dengan tujuan penciptaanya dan Dia telah memulai penciptaan manusia yakni Adam As dari tanah, kemudian menjadikan keturunanya dari sedikit saripatih air mani yang diremehkan bila dilihat kadarnya atau menjijikan bila dipandang, atau lemah , tidak berdaya karena sedikitnya. Kemudian lebih hebat lagi dari itu Dia menyempurnakan dan meniupkan kedalam tubuh-Nya ruh (ciptaan)Nya dan setelah kelahiranya di pentas bumi Dia menjadikan bagi kamu wahai manusia pendengaran agar kamu dapat mendengar kebenaran dan penglihatan agar kamu dapat melihat tanda-tanda kebesaran Alla swt dan Hati agar kamu dapat berpikir dan beriman tetapi sedikit sekali kamu bersyukur dan banyak diantara kamu yang kufur yakni kamu yang tidak mefungsikan anugrah-anugrah itu sebagaimana yang Allah kehendaki, tetapi menfungsikannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Ayat diatas melukiskan sekelumit dari substansi manusia. Makhluk ini terdiri dari dari tanah dan ruh ilahi. Karena tanah, sehingga manusia dipengaruhi oleh kekuatan alam sama halnya dengan makhluk –makhluk hidup di buni lainnya. Dengan ruh, ia mengikat dari dimensi kebutuhan tanah itu, walau ia tidak dapat bahkan tidak boleh melepaskanya, karena tanah adalah bagian dari substansi kejadiannya. Dimensi spiritual itulah yang mengantar manusia untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, dll. Itulah yang mengantar manusia menuju seuatu suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat, tanpa batas,dan tanpa akhir. Oleh karena itu manusia dituntut untuk bersyukur dengan mengfungsikan segala karunia dan nikmat dari penciptaan manusia sesuai dengan kehendak Allah seperti pendengaran yang digunakan untuk mendengar kebenaran dan penglihatan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah serta hati atau akal yang digunakan untuk berpikir memanfaatkan segala karunia itu
C. BALASAN UNTUK ORANG YANG BERSYUKUR.
Adapun balasan bagi orang bersyukur sangat banyak diberikan oleh Allah swt, bahkan Allah sangat mengetahui tanda-tanda orang yang bersyukur. balasan yang diberikan Allah di dunia dan diakhirat. Ada banyak ayat-ayat al-qur’an yang memaparkan tetang apa yang akan diperoleh atau didapatkan bagi orang yang beryukur, diantaranya seperti dalam surat Ali-Imran ayat 144 dan 145 sbb :
‘’ Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah berlalu beberapa orang Rasul. Apakah jika wafat atau terbunuh kamu berbalik kebelakang. Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka tidaklah ia memberi mudarat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur. setiap diri tidaklah akan mati kecuali seizin Allah sebagai ketentuan yang telah ditetapkan waktunya. Barang siapa yang menghendaki pahala dunia, Kami akan memberikan itu kepadanya dan barang siapa yang menghendaki pahala diakhirat, Kami berikan pula kepadanya dan Kami akan memberi balasan bagi orang-orang yang bersyukur.’’(Ali-Imran: 144-145)
‘’ Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji.’’ ( Lukman : 12).
Ayat ini merupakan Makiyah, tema utamanya adalah mengajarkan ajakan kepada tauhid dan kepercayaan akan niscaya Kiamat serta pelaksanaan prinsip-prinsip dasar agama. Adapun tafsiran ayat-ayat diatas menunjukan al-qur’an yang penuh hikmah dan Muhsin yang menerapkan hikmah dalam kehidupanya, serta orang-orang kafir yang bersikap sangat jauh dari hikmah kebijaksanaan.
. D. BAGAIMANA CARA KITA BERSYUKUR.
1. Syukur dengan Hati.Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuh-penuhnya nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan nikmat dari Allah. Syukur dengan hati mengantarkan manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa harus berkeberatan betapapun kecilnya nikmat tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besar kemurahan, dan kasih sayang Allah sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya.
2. Syukur dengan Lisan. Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Di dalam Al-qur’an pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi ‘’Al-hamdulillah’’. Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji ataupun kepada yang lain. Kata ‘’al’’ pada ‘’alhamdulillah’’ disebut al lil istigraq, yakni mengandung arti ‘’keseluruhan’’, sehingga kata ‘’al-hamdu’’ yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling berhak menerima segala pujian adalah Allah, bahkan seluruh pujian harus tertuju dan bermuara kepada-Nya. Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah. Jadi, syukur dengan lisan adalah ‘’alhamdulillah’’ yaitu segala puji bagi Allah
Kata ‘’syakur’’ adalah bentuk hiperbol dari kata syakir yakni orang yang banyak dan mantap syukurnya. Firmannya : qalilum min ibadiya asy-syakur / sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang sempurna kesyukurannya dapat dipahami dalam arti penjelasan tetang sedikit hamba-hamba Allah yang bersyukur dengan mantap. Dua orang diantara mereka yang sedikit itu, adalah Nabi Daud dan Sulaiman as dan dapat juga dipahami dalam arti bahwa karena hamba-hamba Allah yang mantap kesyukurannya, tidak banyak, maka hendaklah kamu berdua (wahai Daud dan Sulaiman) memperbanyak kesyukuran. Yang dimaksud bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahanya. Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkanya nikmat tersebut oleh Allah

II. SABAR
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya.
Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i.
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman,
“Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
“Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Yahya bin Abi Katsir pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. “Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.”
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong”
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Rasulullah SAW, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.”
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,
“Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52).
Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31).
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir yang panas. Ingatlah bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang syahid di jalan Allah.
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…”. Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya,
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya dan Al Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624).
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”
“Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114).
Dan juga sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul Mashaabih 5043)…”
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…”
Sabar dan Tauhid
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.
III. TAWAKAL
Pengertian Tawakal
Tawakal artinya bergantung dan bersandar pada sesuatu.
Ibnul Atsir berkata: “Tawakal artinya menyerahkan urusan kepada pihak
lain atau menggantungkan kepadanya. Hal ini disebabkan karena percaya penuh
kepada yang diserahi atau ketidakmampuan menangani sendiri.”

Syaikh Ibnu Utsaimin v berkata: “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan
kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak
apa-apa yang tidak disenangi disertai percaya penuh kepada Allah dan menempuh
sebab1 yang diizinkan syari’at.”

Hakikat dan Pentingnya Tawakal
Sesungguhnya hakikat tawakal adalah hati benar-benar
bergantung kepada Allah guna memperoleh maslahat (kebaikan) dan
menolak madhorot (bahaya) dari urusan-urusan dunia dan akhirat.
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Rahasia tawakal dan hakikatnya
adalah bersandar dan bergantungnya hati kepada kepada Allah
semata. Tidaklah tercela mengambil sebab dengan tetap menjaga hati dari
ketergantungan terhadap sebab tersebut sebagaimana tidak berartinya orang
yang berkata ‘Saya tawakal kepada Allah’ tetapi ia bersandar dan berkeyakinan
kepada selain-Nya. Maka tawakalnya lisan lain dengan tawakalnya hati.
Oleh karena itu, ucapan seseorang ‘Saya bertawakal kepada Allah’ tetapi ia
masih bersandar dan bergantung kepada selain Allah tidaklah bermanfaat
sedikit pun sebagaimana orang yang berkata ‘Saya bertaubat kepada Allah’
sedangkan ia terus berkubang dengan kemaksiatan.”
sesungguhnya tawakal itu merupakan asas dari seluruh keimanan dan kebaikan. Asas dari seluruh amalan Islam. Pentingnya tawakal ini ibarat sebuah jasad dengan kepalanya. Sebagaimana kepala tidak akan tegak kecuali dengan badan, demikianlah pula keimanan, kedudukan, dan amalannya tidak akan tegak kecuali dengan tawakal., sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya agar bertawakal semata-mata hanya kepada-Nya. Hal itu dapat kita jumpai dalam banyak ayat-ayat-Nya. Di antaranya adalah firman
Allah:
... dan tawakal-lah kepada Allah . Cukuplah Allah menjadi Pelindung.
(QS. an-Nisa’ [4]: 81)2
Rasulullah SAW bersabda: “Akan masuk surga dari umatku 70.000 orang tanpa
dihisab ... mereka adalah orang-orang yang tidak minta ruqyah, tidak menyandarkan
kesialan kepada burung dan sejenisnya, tidak berobat dengan
besi panas, dan mereka bertawakal hanya kepada Robb (Tuhan) mereka.”
(HR. al-Bukhori: 5378 dan Muslim: 218)

Pengaruh Tawakal Terhadap Keimanan
tawakal adalah suatu ibadah yang sangat agung. Maka sudah semestinya seorang hamba bertawakal hanya kepada Allah semata. Barang siapa yang bertawakal kepada selain Allah maka sungguh dia telah berbuat syirik, merugi di dunia dan akhirat. Dan sungguh tawakal itu sangat erat kaitannya dengan keimanan seorang hamba. Tidaklah seorang hamba itu dikatakan beriman kecuali apabila ia telah mewujudkan tawakal dalam usaha atau amalan yang ia lakukan.Allah berfirman:
“.... Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benarbenar
orang yang beriman.” (QS. al-Ma’idah [5]: 23)
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Dalam ayat ini Allah menjadikan tawakal
kepada diri-Nya sebagai syarat keimanan. Maka indikasi lenyapnya keimanan,
ketika tidak adanya tawakal.”
Makin kuat tawakal seorang hamba kepada Allah makin kuat pula keimanannya.
Allah berfirman:
Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakal-
lah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri.” (QS. Yunus [10]: 84)
Imam Ibnul Qoyyim v berkata: “Dalam ayat ini Allah menegaskan benarnya
Islam seorang hamba dengan tawakal. Makin kuat tawakal seorang hamba
makin kuat pula imannya. Demikian juga sebaliknya, apabila lemah imannya
lemah pula tawakalnya. Apabila tawakalnya lemah, indikasi (tanda) lemahnya
keimanan sudah merupakan keharusan.”

Balasan Bagi yang Bertawakal Kepada Allah
Allah berfirman:
“.... Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.... “(QS. ath-Tholaq [65]: 3)
Dalam ayat ini Allah menjamin akan memberi kecukupan kepada orang-orang
yang bertawakal termasuk rezeki. Berkata Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin v/: “Ayat ini memberi faidah
bahwa orang yang bertawakal kepada selain Allh dia adalah orang
yang hina. Karena selain Allah tidaklah mampu memberi kecukupan. Barang
siapa bertawakal kepada selain Allah , Allah akan berlepas diri dan
membuatnya tergantung kepada selain-Nya. Dia tidak mendapat yang diinginkan,
makin jauh dari Allah sesuai ketergantungannya kepada selain
Allah tersebut.”

Tawakal Tidak Menafikan Ikhtiar (Usaha)
sebagian orang menganggap bahwa tawakal itu identik dengan pasrah secara total, tanpa adanya usaha atau ikhtiar sedikitpun.Ini sungguh sangat keliru. Yang benar, tawakalnya seorang hamba kepada Allah itu tidak menafikan (meniadakan) untuk mengambil sebab-sebab syar’i yang dibolehkan. Bahkan hal itu termasuk perkara yang dianjurkan
dalam agama Islam. Misalnya saja: seorang yang ingin terpenuhi
kebutuhannya maka ia harus bekerja, bukannya bermalas-malasan dan
tidak melakukan suatu usaha atau upaya lantas tiba-tiba memperoleh rezeki
dari langit. Sama halnya dengan orang yang ingin punya anak, maka ia harus


























Kesimpulan

Bahwa sesungguhnya kita sebagai makhluk ciptaan Allah harus bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah kepada kita.selain itu kita juga harus bersifat sabar karena tanpa adanya kesabaran maka semua yang kita lakukan akan penuh dengan rasa amarah,Allah sangat membenci sifat amarah Karen amarah dapat menyebabkan rimbulnya kerusakan dimuka bumi dan dapat menyakiti orang dan diri sendiri.Allah juga menyuruh kita untuk hanya bertawakal kepada-Nya,karena dengan berserah diri kepada-Nya maka kita akan tergolong orang-orang yang selalu mendapat rahmat dari Allah.
Selain dari tiga sifat yang telah dijelaskan diatas masih banyak lagi sifat-sifat yang sangat dicintai oleh Allah. Oleh karena itu kita sebagai umat manusia harus selalu senantiasa menjalankan apa perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah,agar kita selalu mendapat rahmat dan ridho dari Allah SWT.